- 18/06/2025
PERNAHKAH anda tak tidur semalaman hanya gara-gara melihat konten-konten di Media Sosial yang tak jelas juntrungannya? Tak jelas maknanya apa, namun kita tak kuasa untuk berhenti menontonnya. Begitu habis satu konten, kita merasa penasaran lagi untuk melihat yang berikutnya. Menjadikan kita ketagihan, walaupun mata dan pikiran kita kelelahan.
Hati-hati..! kondisi ini bisa jadi menunjukkan anda tengah mengalami dampak buruk yang disebut dengan dopamine instan. Dimana otak mengalami ketagihan mengkonsumsi konten pendek receh yang tidak merangsang intelektualitas. Atau dalam istilah ilmu komunikasi dikenal dengan Noise Content.
Celakanya, jika ini terus dibiarkan, akan sampai pada penyakit otak yang dinamakan brain rot. Istilah yang secara mengejutkan telah ditetapkan sebagai Oxford Word of the Year 2024 oleh Oxford University Press, melalui partisipasi lebih dari 37. 000 pemilih secara global (Oxford University Press,2024).
Istilah ini, yang secara literal berarti “pembusukan otak,”. Merujuk pada degradasi mental yang terjadi akibat konsumsi berlebihan terhadap konten-konten digital yang tidak merangsang intelektualitas.
Dalam kajian neurosains dan psikologi kognitif, konsumsi informasi dangkal secara terus-menerus dapat menghambat perkembangan berpikir kritis, menurunkan atensi, serta menumpulkan sensitivitas terhadap narasi yang lebih kompleks.
Nicholas Carr dalam The Shallows: What the Internet Is Doing to Our Brains menjelaskan bahwa otak manusia bersifat plastis dan sangat dipengaruhi oleh pola konsumsi informasi; ketika otak terbiasa menerima informasi cepat dan dangkal, ia kehilangan kemampuan untuk fokus dan berpikir mendalam (Carr, 2010).
Ironisnya, seperti yang disampaikan Syafruddin
Pohan, M.Si, Ph.D dalam kuliah Kebijakan dan Regulasi Media S3 Komunikasi USU
(16/5/2025) lalu, kondisi ini seringkali tidak disadari oleh masyarakat kita.
Bahkan, konsumsi konten dangkal kini menjadi bagian dari budaya digital yang dianggap normal. Padahal, jika dibiarkan, hal ini dapat mengarah pada fenomena digital intoxication, yaitu kondisi “kemabukan informasi” yang menyebabkan seseorang kehilangan kemampuan untuk memilah dan mengkritisi konten yang dikonsumsi.
Jean Baudrillard melalui konsep simulacra dan hyperreality-nya menyatakan bahwa dalam masyarakat pascamodern, kita hidup dalam tumpukan citra dan representasi yang jauh dari realitas aslinya; media digital telah menciptakan dunia buatan yang terasa lebih “nyata” dibanding kenyataan itu sendiri (Baudrillard, 1981).
Di titik ini, konten bukan lagi jendela menuju
pengetahuan, tetapi cermin yang memantulkan ego, hasrat, dan impuls sesaat.
Situasi ini bukan hanya menjadi masalah pada tataran individual, melainkan juga mengancam struktur sosial dalam skala luas. Bangsa yang terlalu larut dalam budaya digital konsumtif berisiko mengalami erosi terhadap kapasitas intelektual kolektif.
Perkembangan era digital saat ini mengalami akselerasi yang luar biasa. Gelombangnya laksana air bah tak terbendung dan tak memilih siapa yang akan dihanyutkan.
Parahnya di tengah rendahnya tingkat literasi digital, penyebaran hoaks, disinformasi,
dan narasi manipulatif menjadi semakin tak terbendung.
Laporan Digital News Report oleh Reuters Institute (2023) menunjukkan bahwa generasi muda kini lebih mengandalkan media sosial sebagai sumber utama informasi, meski banyak dari konten tersebut tidak melalui proses verifikasi yang memadai (Reuters
Institute, 2023).
Hal ini memperkuat dugaan bahwa brain rot bukan sekadar istilah linguistik populer, tetapi mencerminkan krisis struktural dalam
tata kelola informasi dan pendidikan publik.
Dalam konteks Indonesia, fenomena ini semakin kentara di tengah dominasi konten viral yang kerap kali tidak memiliki nilai edukatif. Platform seperti TikTok, Instagram, hingga YouTube Shorts menjadi ladang subur bagi budaya visual yang serba cepat dan instan.
Ketika algoritma lebih memprioritaskan clickability dan shareability, maka nilai konten ditentukan bukan oleh manfaatnya, tetapi oleh potensinya untuk memicu respons emosional.
Ditambah lagi dalam dua dekade terakhir, media sosial telah mengalami transformasi yang sangat signifikan. Dari yang semula hanya berfungsi sebagai sarana komunikasi dan jejaring sosial semata, kini media sosial telah menjelma menjadi infrastruktur ekonomi digital yang kompleks.
Perubahan ini ditandai oleh lahirnya praktik monetisasi konten, di mana platform seperti YouTube, TikTok, Instagram, dan Facebook memberikan peluang bagi para konten kreator untuk menghasilkan pendapatan melalui berbagai mekanisme, seperti iklan, sponsorship,
hingga penjualan produk digital (Fuchs, 2017).
Dalam konteks ini, munculnya industri kreatif digital tidak hanya menciptakan ruang ekspresi yang lebih luas, tetapi juga mendorong dinamika ekonomi baru yang mengandalkan kapitalisasi
atas perhatian publik.
Disinilah terdapat problematika etis dan struktural yang tidak bisa diabaikan. Dorongan untuk memperoleh keuntungan finansial dari konten sering kali menciptakan gesekan dengan prinsip-prinsip etika komunikasi digital.
Disinformasi, eksploitasi data pribadi, serta tekanan algoritmik menjadi fenomena yang kerap menyertai praktik monetisasi tersebut.
Algoritma platform sosial cenderung mempromosikan konten yang bersifat kontroversial atau emosional demi meningkatkan engagement, tanpa mempertimbangkan dampak psikososial dan
kulturalnya.
Hal ini menjadi salah satu akar dari krisis ekosistem informasi saat ini, di mana kualitas konten tidak lagi menjadi prioritas utama.
Monetisasi pun tak jarang menjadi insentif bagi produksi konten yang semata-mata mengejar
viralitas. Dalam banyak kasus, hal ini dilakukan dengan mengorbankan keakuratan informasi, bahkan kadang kala menyerempet pada pelanggaran terhadap privasi individu, eksploitasi stereotip, atau pengaburan nilai-nilai budaya dan moral (Zuboff, 2019).
Shoshana Zuboff, dalam The Age of Surveillance Capitalism, menjelaskan bahwa media digital telah menjadi ladang eksploitasi data personal yang disulap menjadi komoditas. Dalam lanskap kapitalisme digital ini, pengalaman manusia diolah menjadi prediksi perilaku, dan pada akhirnya, dikomersialisasikan.
Dalam situasi ini, penting bagi masyarakat untuk membangun kesadaran akan pentingnya digital hygiene kemampuan mengelola, menyaring, dan mengevaluasi konten yang dikonsumsi setiap hari agar tidak menjadi korban algoritma atau budaya instan (Pariser, 2011).
Dengan demikian, brain rot adalah representasi dari kerentanan manusia dalam menghadapi ledakan informasi. Ini bukan sekadar penyakit individu, tetapi fenomena kolektif yang menuntut respons dari berbagai sektor: pendidikan,
teknologi, dan kebijakan publik.
Dalam dunia yang riuh oleh kebisingan digital,
upaya untuk berpikir kritis, jernih, dan mendalam justru menjadi bentuk perlawanan paling esensial sebuah strategi bertahan hidup agar kita tidak tenggelam dalam arus informasi yang semu.***
Suardi, S. Sos, M. I. Kom
- Dosen Tetap Prodi Komunikasi UIN Suska Riau
- Mahasiswa Program Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara