VOXOpini

Dahlan Iskan dan Grafiti

Oleh : Irwan E. Siregar , Mantan Wartawan Majalah TEMPO
Selasa, 15 Juli 2025 14:26 WIB
Irwan E. Siregar

SEBENARNYA saya tidak saling mengenal dengan Dahlan Iskan. Waktu saya bergabung di Tempo, beliau sudah jadi bos di Jawa Pos.

Saya memang sempat juga ikut di Jawa Pos Biro Jakarta. Waktu itu dipimpin M. Siradj, Samsudin, lalu Nani Wijaya, yang kini ikut jadi tersangka bersama DI (inisial nama Dahlan Iskan). Namun,  karena kesibukannya, DI tak pernah datang ke markas kami di bekas kantor Tempo di Senen Raya 83, Jakarta Pusat.

Memang pernah ketemu di Batam saat acara gerak jalan yang diselenggarakan koran Riau Pos. Saya waktu itu wartawan majalah Gatra untuk Batam, Singapura, dan Riau. Namun, tak sempat bicara, karena usai acara DI langsung menghilang entah ke mana.

Kendati tak kenal secara langsung dengan DI, namun saya ikut tergelitik untuk nimbrung membahas masalah hukum yang sedang dialaminya. Maklum, kami kan satu almamater. Apalagi karena Tempo dan Jawa Pos satu grup di bawah naungan PT. Grafiti Pers.

Seperti yang sedang ramai di media, diberitakan DI yang membangun dan membesarkan Jawa Pos menjadi kerajaan bisnis pers yang sangat besar, kini dipidanakan oleh perusahaan yang dibesarkannya itu. Sungguh mengenaskan rasanya.

Saya lalu teringat dengan mendiang Jupernalis Samosir, yang waktu itu jadi wartawan Tempo di Riau. Tak ada kaitannya, memang dengan kasus ini. Namun setidaknya bisa dijadikan sebagai lampiran.

Beberapa waktu setelah kematian Jupernalis, kami sesama wartawan senior dan aktivis ngumpul-ngumpul di kantin Tribun Pekanbaru. Yang kami bahas adalah masalah jelang kematiannya yang sangat mengenaskan. Ia meninggal di bangsal rumah sakit umum dalam status sebagai pasien miskin.

Banyak yang menyayangkan ketidakpedulian media terkemuka ini terhadap wartawannya sendiri. Dalam pertemuan tersebut terungkap bahwa nyaris tak ada bantuan yang diberikan kepada mendiang sejak dia mengalami sakit selama beberapa tahun.

Mungkin bantuan yang diberikan hanya saat dia meninggal saja. Saya ikut menemani wakil majalah Tempo dari Jakarta memberikan bantuan di dalam amplop tersebut kepada istri mendiang. Namun, saya lupa menanyakan bantuan tersebut dari institusi majalah Tempo atau dari tek-tekan para wartawannya.

Dalam pertemuan di kantin Tribun itu saya sempat digerutuin kawan-kawan yang hadir. Sebab saya mencoba membela Tempo karena tak ingin ikut-ikutan menjelekkan almamater sendiri. Maklumlah, selama bergabung di majalah ini saya nyaris tidak pernah mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan. Semua berjalan sesuai dengan aturan.

Saya mengikuti semua jenjang tanpa pernah mendapatkan halangan. Mulai dari calon reporter sampai menjadi karyawan tetap, semua hak diberikan. Ada gaji 13 dan 14. Dapat tunjangan kesehatan sekeluarga. Ikut kursus Bahasa Inggris. Bahkan saya sudah sempat menikmati jalan-jalan selama dua minggu di salah satu wilayah di tanahair atas biaya kantor.

Namun, dalam perbincangan di kantin tersebut, banyak gumaman bahwa Tempo sekarang sudah semakin kapitalis. Buktinya, Jupernalis yang telah lebih sepuluh tahun bergabung, statusnya masih tetap tak jelas. Sehingga pendapatannya pun serba tak jelas. 

Padahal pada masa saya dulu di Tempo, saat berstatus pembantu tetap pun sudah mendapat honor basis. Dan enam tahun bergabung sudah diangkat sebagai pegawai tetap. Bahkan saat Tempo dibredel, selain mendapatkan uang pesangon saya juga mendapat uang perumahan yang sudah dijatahkan untuk saya.

Saya cuma menduga-duga, Grafiti sebagai pemodal Tempo dan Jawa Pos, mulai tak ramah dengan orang-orangnya sendiri setelah tidak adanya Ciputra dan Eric Samola. Saat kedua bos PT Pembangunan Jaya ini masih hidup, boleh dikatakan mereka dekat dengan para wartawan dan karyawan. Saya sendiri pernah bertemu dengan keduanya saat mereka bertandang ke kantor Tempo.

Sayangnya, di tangan penerusnya keharmonisan ini tak lagi berjalan baik. Tak hanya di Tempo, seperti yang dialami Jupernalis. Di koran daerah anak perusahaan Jawa Pos juga banyak mantan karyawan yang mengeluh. Mereka di-PHK, tapi pesangonnya dicicil. Bahkan, ada yang mengeluh di media sosial bahwa cicilan pesangonnya pun sering tersendat.

Beberapa kawan yang tak ikut bergabung dengan Gatra, saat pensiun dari Tempo juga tidak membawa pulang dana yang melimpah. Ada yang bercerita, uang pensiun hanya bisa untuk menguliahkan dua anak. "Anak ketiga terpaksa dibiayai dari penghasilan istri yang membuka warung di rumah," katanya.

Kaget juga mendengarnya. Sebab waktu saya golongan VI di Tempo, gaji saya sudah hampir setara dengan gaji saudara saya yang bekerja di perusahaan minyak. Sementara saat pensiun pesangon saudara saya itu sudah miliaran rupiah.

Maka wajar jika muncul tudingan bahwa Grafiti yang menaungi Tempo dan Jawa Pos kini sudah semakin kapitalis. Padahal, saat masih dipegang Ciputra dan Eric Samola, para pekerja - terutama kalangan wartawan - sangat "diwongke".

Agaknya para penerus konglomerasi pers ini menganggap mengatur wartawan sama dengan pegawai biasa. Tentu saja tidak sama, kawan.  Karena itu, mereka harus lebih banyak lagi belajar dari trik yang sebelumnya dilakukan orangtua mereka dalam mengelola bisnis pers.

Mereka harus menghargai jerihpayah orang-orang yang telah membesarkan bisnis orangtuanya tersebut. Tanpa semangat penerobos seperti dilakukan Jupernalis yang pernah diuber-uber mafia kayu, misalnya, apakah media akan laku di pasaran. Begitu juga dengan DI yang menghabiskan hampir semua waktunya untuk Jawa Pos. Sampai orang memberikan julukan: Jawa Pos adalah Dahlan Iskan, dan Dahlan Iskan adalah Jawa Pos.

Apakah orang seperti ini harus dijebloskan ke penjara oleh perusahaan yang dibesarkannya sendiri? Wallahuahlam. (Irwan E. Siregar)

Majalah Tempo Grafiti Pers Jawa Pos JPNN Dahlan Iskan VOXindonews Lazada Shopee