- 03/08/2025
ADA istilah begini kira-kira, “Kalau mudah kenapa dipersulit. Kalau bisa damai, kenapa harus konflik. Kalau bisa diampuni, kenapa harus dimusuhi.” Itu karangan saya saja, wak. Ntah nyambung atau tidak, up to u. Tapi, saya harus puji Presiden Prabowo. Boleh dong dipuji. Dengan hak presiden yang dimilikinya, ia mengampuni Hasto dan Tom Lembong yang selama ini mondar-mandir di pengadilan. Tinggal menunggu waktu, bebas. Simak narasinya sambil seruput kopi tanpa gula, wak!
Presiden Prabowo Subianto, sang jenderal, kini menjelma menjadi Bapak Rekonsiliasi Nusantara. Ia menorehkan sejarah yang tidak bisa ditulis dengan tinta biasa, melainkan dengan cairan abolisi murni 98 persen, sisanya air mata netizen.
Setelah sukses mengguncang PPATK dengan jurus Buka 31 Juta Rekening Tanpa Air Mata, Prabowo melangkah lebih jauh. Ia mengangkat pedang keadilan dan membabat habis jeruji penjara politik. Tak tanggung-tanggung, 1.116 terpidana dijadikan korban cinta kasihnya. Tapi dua nama mencuat seperti sinetron azab di bulan puasa, Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong. Bukan sembarang orang. Yang satu mantan tukang PAW Harun Masiku, yang satu mantan tukang impor gula ilegal.
Hasto, sang Sekjen PDIP, awalnya dijatuhi hukuman 3 tahun 6 bulan karena nyogok Komisioner KPU Wahyu Setiawan dengan Rp400 juta, berharap Harun Masiku bisa nongol lagi seperti tuyul politik. Tapi apa daya, hakim tak melihat keikhlasan di balik sogokan. Putusan pun dijatuhkan. Namun kini, semua tinggal kenangan. Karena Prabowo menyulap vonis jadi voucher pengampunan, lengkap dengan pita merah dan tandatangan DPR.
Sementara Tom Lembong, mantan Menteri Perdagangan yang dituding menyulap izin impor gula 157.500 ton tanpa rekomendasi, menyebabkan kerugian negara Rp578 miliar, kini bebas seperti burung lepas dari sangkar Excel. Divonis 4,5 tahun plus denda Rp750 juta, Tom awalnya gemetar seperti gigi pas dicek pak dokter gigi. Tapi abolisi datang, dan dunia pun menjadi manis kembali. Bahkan lebih manis dari gula yang dia impor dulu.
Kata Supratman Andi Agtas, Menteri Hukum yang kini jadi juru bicara kebijakan syahdu ini, semua demi persatuan nasional menjelang 17 Agustus. Karena, katanya, kita tak butuh kembang api, cukup abolisi dan amnesti untuk menyalakan semangat anak bangsa. Hasto dan Tom dinilai telah berjasa. Entah jasanya apa, kalian lah yang tahu, wak!
KPK tampak gelisah. Mereka bilang akan pelajari dulu prosesnya, karena kasus Hasto masih tahap banding. Tapi siapa peduli? Ketika langit mengeluarkan dekrit, bumi hanya bisa menerima. Para akademisi hukum pun tampak tenang. Mungkin karena sudah lelah, atau karena takut dapat abolisi juga, dari pekerjaan.
Netizen pun riuh. Ada yang berkata, “Kalau begini, mending korupsi aja sekalian, siapa tahu tahun depan dapat maaf presiden.” Yang lain bilang, “Prabowo ini bukan presiden, tapi semacam Thanos, tinggal jentikkan jari, kasus hilang.” Tapi ayah Didit Hediprasetyo tetap diam. Karena seorang jenderal tidak perlu banyak bicara. Ia cukup mengedipkan mata kiri, dan separuh hukum gugur.
Di negeri ini, hukum adalah puisi. Orang nomor satu di negeri ini dalah penyairnya. Ia tak menulis dengan pena, tapi dengan wewenang. Ia tak berbicara tentang keadilan, ia menciptakan versinya sendiri. Jika sejarah adalah panggung absurd, maka Prabowo adalah sutradara, aktor utama, dan penulis naskah. Lalu, kita? Kita cuma penonton yang berdoa semoga tak kena abolisi hati.
Selamat datang di era baru. Era di mana hukuman bisa ditebas oleh belas kasih seorang presiden. Era di mana hukum tak lagi hitam-putih, tapi sudah full color, dengan efek CGI dan dramatisasi soundtrack orkestra. Era Prabowo. Sang pemilik kunci pengampunan, sekaligus penjaga pintu hukum yang lentur.
Kadang kasihan juga dengan KPK. Ngebet benar ingin mengkerangkeng Hasto, eh endingnya diampuni Presiden. Sabar ya KPK, udah tak cocok garap penggede, cari koruptor receh ajalah, dijamin tak ada abolisi.
Mega Memberi Isyarat, Dari Amnesti Jadi Aliran Baru Kekuasaan
Malam tadi habis rapat Satupena, banyak dikirimi link berita dari kawan. "Bang, Hasto dan Tom diampuni Prabowo." Tak ayal, saya pun menarasikan (baca artikel sebelumnya). Peta politik akan berubah. Seperti apa respon PDIP usai dapat voucher amnesti untuk Hasto dari sang presiden? Mari kita kulik sambil seruput kopi tanpa gula, wak!
Presiden Prabowo memberi amnesti kepada Hasto Kristiyanto. Dalam daftar resmi yang disahkan DPR, nama Hasto masuk di antara 1.116 orang yang dinyatakan bebas dari lilitan pasal. Sontak, atmosfer politik berubah. Tapi itu hanya bunga pembuka. Yang membuat Indonesia mendadak seperti panggung Yunani klasik adalah kalimat-kalimat Megawati Soekarnoputri di Denpasar, dalam Bimtek Fraksi PDIP. Ia tak sedang bercanda. Ia tak sedang retoris. Ia sedang mengatur arah angin.
Instruksi Megawati tidak sekadar seruan. Itu naskah baru yang langsung dipentaskan. Katanya, PDIP akan mendukung pemerintahan Prabowo. Tapi, tunggu dulu. Ini bukan bentuk kepatuhan buta. Ini semacam kepatuhan bermata elang, tajam, waspada, dan penuh perhitungan. Jika ikam kira ini sekadar salam dua jari yang berubah jadi empat jari, nuan belum mengerti cara kerja kekuasaan di tanah ini.
“Dukung, tapi jangan tunduk. Jaga pemerintahan, tapi jangan diam.” Kira-kira begitu tafsir dari arah Megawati. Partai banteng ini, yang dulu sempat digambarkan sebagai oposisi garang, kini memilih menjadi penjaga rel. Rel apa? Rel kekuasaan, rel fiskal, rel utang luar negeri, dan rel geopolitik yang jalurnya tak pernah lurus.
PDIP tahu bahwa defisit anggaran menunggu di ujung tahun. Mereka tahu pemasukan negara seperti ember bocor di tengah hujan utang. Mereka juga tahu dolar tak bisa dilawan dengan slogan. Maka, mereka tidak hanya ingin berdiri di luar ring sambil mengacungkan jari. Mereka ingin masuk gelanggang, bukan sebagai petarung, tapi sebagai pengarah strategi. Tak harus masuk kabinet. Tapi cukup berada di meja makan, bukan jadi buruh cuci piring.
Megawati menginstruksikan, seluruh kader turun ke bawah. Dengarkan rakyat. Tapi jangan sekadar mendengar seperti mikrofon di acara dangdut. Dengarkan dengan analisa, tafsir, dan sensitivitas politik. Karena suara rakyat bukan sekadar desahan penderitaan, tapi juga kode arah perubahan.
Deddy Yevri Sitorus menegaskan, PDIP akan menjaga agar pemerintahan tetap berada “di jalur yang benar”. Tapi di republik ini, kata “benar” selalu bisa dinegosiasi. Maka, PDIP tidak sekadar menjaga. Mereka sedang menandai jalur baru. Mereka ingin jadi kompas, bukan hanya peta.
Amnesti terhadap Hasto adalah pintu. Tapi bukan pintu rumah tahanan, melainkan pintu masuk ke rekonsiliasi. Megawati sudah mengambil langkah pertama, bukan dengan pelukan, tapi dengan kalimat, sebuah senjata politik yang lebih tajam dari veto.
Bayangkan, wak! Dalam satu minggu, Hasto diberi amnesti, Tom Lembong dibebaskan dari jerat impor gula, dan Megawati memberi restu untuk mendukung pemerintah. Semua ini bukan kebetulan. Ini simfoni kekuasaan.
Di tengah simfoni itu, PDIP tampil bukan sebagai pemain band, tapi sebagai konduktor bayangan. Mereka tidak tampil di panggung kabinet, tapi mereka memimpin irama dari balik layar. Diam-diam, tegas-tegas.
Jangan kaget bila sebentar lagi bendera PDIP tidak hanya berkibar di luar pagar istana. Tapi juga mulai dijahitkan ke dalam selimut kekuasaan baru, selimut merah yang tak membakar, tapi menghangatkan kursi kekuasaan Prabowo.
Indonesia sedang menyaksikan babak baru. Megawati baru saja membuka tirainya.
Amnesti terhadap Hasto bukan sekadar keputusan hukum, tapi penanda, musim baru telah tiba. PDIP yang dulu berdiri di luar pagar kini memegang kunci garasi. Bukan untuk pindah rumah, tapi untuk “mengatur parkir”.
Prabowo, sang aktor utama, sedang menulis naskah besar. Ia tahu, untuk membuat pertunjukan politik yang utuh, dibutuhkan pemain antagonis yang bisa berubah jadi protagonis dalam dua episode saja. ***
Tom Lembong Hasto Kristianto Prabowo Megawati Abolisi Amnesti VOXindonews Lazada Shopee